“Kak?”, kataku lirih.
“Iya de, kenapa?”,
jawabnya sembari mengusap rambutku lembut.
“Kakak udah punya pacar
baru ya?”, tanyaku sambil menggenggam tangannya erat. Hatiku galau. Aku takut
kehilangan kakak, meski dia bukan kakak kandungku. Tapi dia begitu berarti
untukku.
“Kamu tau dari siapa
coba?”, ujarnya dengan tawa yang menunjukkan giginya yang putih nan rapi.
“Ya kakak ga perlu tau.
Tapi benar kan ?”,
desakku padanya. Dia kembali mengusap rambutku. Aku tak tau apa yang ada
dipikirannya saat ini.
“Ahh sok tau kamu”,
hanya jawaban-jawaban singkat yang keluar dari mulutnya.
“Setelah kakak
mendapatkan seorang lebih baik dariku, Apa kakak akan meninggalkan aku?”,
pertanyaan itu terlontar dari mulutku. Aku hanya ingin dia tetap menjadi kakakku
yang dulu, aku tak ingin sikapnya berubah jika memang dia mempunyai pacar baru.
“Ngaco kamu ahh…”,
jawabnya dan lagi-lagi dengan tawanya yang riang.
“Aku ga ngaco, kalau memang
kakak punya pacar baru ya silahkan. Yang penting kakak ga melupakanku. Itu
aja”, aku menjelaskan keinginanku yang sebenarnya.
“Tenang aja… Liat aja
nanti, apa aku akan ngelupain kamu?”, ucapnya yakin.
“Oke, aku akan
buktikan. Awas kalau kakak berani ngelupain aku”, jawabnya sembari tertawa
riang.
Sore ini Pantai Kukup lebih
sepi dari biasanya. Kami duduk di atas pasir putih halus di tepi pantai. Kami
sering menghabiskan waktu disini, hampir setiap minggu kami kemari. Tapi, sudah
beberapa minggu ini kami jarang pergi berdua. Ku dengar kabar kalau kakak
sedang dekat dengan seseorang. Tapi ku tak tau pasti siapa dia. Hatiku hancur
dibuatnya, aku tak ingin kehilangan kakakku. Mungkin terdengar egois, tapi itu
karena aku sayang kakak. Kakak yang selalu ada untukku. Dia selalu berada
disampingku disaat aku membutuhkannya. Dia tak pernah meninggalkanku sendiri.
Tapi semua seperti tak
begitu menyukai kedekatanku dengan kakak. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran
mereka. Apa yang salah? Atau aku yang salah karena terlalu dekat dengan kakak
tanpa kepastian?. Entah..
“Kak, janji sama aku
ya?”, aku kembali berusaha meyakinkan kakak.
“Janji apa?”, jawabnya.
“Gimanapun keadaannya,
kakak tetap sayang aku”, aku meyakinkannya agar dia tetap meluangkan waktu
bersamaku walau suatu saat nanti dia mempunyai penggantiku.
“Iya, kamu kan adekku”, DEG!
Lagi-lagi kata itu. Hanya sebagai adik, dia hanya menganggapku sebagai adiknya
saja, tak lebih. Aku hanya bisa tersenyum kecut.
Senja semakin turun
menyelimuti. Menikmati sunset bersama kakak adalah hal yang paling
menyenangkan. Melihat matahari yang terbenam perlahan, rasanya indah. Menikmati
kekuasaan-Nya sekaligus menikmati ciptaan-Nya yang berada disampingku saat ini.
Ahh, rasanya ingin berlama-lama disini bersama kakak. Dan sejak itu, malapetaka
dimulai.
*******
Siang ini kakak berjanji
akan menjemputku disekolah. Setelah bel pulang sekolah berbunyi nyaring, aku
bergegas keluar kelas. Kakak telah menungguku di gerbang sekolah. Dari kejauhan
ku lihat dia melambaikan tangan. Dari raut mukanya aku tau, kalau dia sedang
bahagia. Ada
apa? Entahlah…
“Hmm… Lagi bahagia ya
kak? Ada apa
sih? Cerita dong…”, tanyaku begitu berada disampingnya. Yang ditanya hanya
tersenyum.
“Pokoknya aku bahagia
banget hari ini. Aku jatuh cinta sama dia. Aku baru pernah sebahagia ini. Dia
berbeda dari yang lain”, jawabnya dengan hati berbunga-bunga, tapi hatiku
hancur seketika.
“Dia siapa kak?”, aku
mulai tak bersemangat mendengarkan celoteh kakak.
“Ada dehh… Kapan-kapan ku kenalin ke kamu.
Kalau sekarang masih pedekate aja kok. Intinya dia baik banget”, kakak mengungkapkan
semua isi hatinya. Kakak bisa tersenyum lebar kalau menceritakan orang itu.
Sepertinya aku tak ada apa-apanya dibandingkan orang itu.
“Kakak sayang sama
dia?”, aku ingin tau, seberapa besar rasa sayang kakak kepada orang itu. Apa lebih
besar dari rasa sayangnya padaku?
“Ya iyalah. Aku sayang
banget sama dia. Lagian aku klop kalau ngobrol sama dia”, jawabnya santai. Bisa
ku lihat dari pancaran mata kakak
menunjukkan kasih sayang yang begitu tulus.
“Lebih baik
daripadaku?”, tanyaku singkat. Rasanya dongkol mendengar curahan hati kakak
yang terlihat begitu bangga dengan orang itu.
“Ya engga lah, kamu
tetap the best de”, jawabannya tak begitu memuaskanku.
“Kalau aku the best,
kenapa kakak pilih orang lain?”, pertanyaanku seolah-olah memojokkannya.
“Ya kan beda de… Kamu kan adekku”, kata itu lagi yang terlontar.
Menambah pedih hati ini.
“Pulang yuk… Kakak
anter kamu pulang”, lanjutnya seperti mengalihkan pembicaraan.
Aku menurut saja. Kakak
mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan, kami hanya bisa terdiam. Aku masih
enggan untuk berbicara dengannya. Pada akhirnya, kakak pasti hanya akan
membahas tentang gebetan misteriusnya. Sesampainya di rumah, aku hanya berdiam
diri di kamar. Tak memedulikan pertanyaan-pertanyaan mama. Sedangkan kakak langsung
pulang. Dia bilang ada urusan penting. Sepenting itukah sampai tak menyempatkan
sedikit waktu untuk sekedar menyapa mama?.
Aku tak habis pikir,
apa kurangku dimata kakak, sampai-sampai dia memilih orang lain. Aku masih
belum siap kehilangannya. Selama ini aku hanya mendapat posisi aman, sebagai
adiknya. Entah bagaimana hubungan kami kalau kakak sampai tau perasaanku
sebenarnya kepadanya. Aku tak bisa membayangkan, mungkin saja dia akan pergi
menjauh dari hidupku.
Kalau dibandingkan
dengan pacarku dulu, kakak jauh lebih baik. Bukan pengkhianat seperti pacarku
dulu. Tapi, orang tuaku tak terlalu senang melihatku banyak menghabiskan waktu
bersama kakak.
*******
Sedari pagi aku
membuntuti kakak diam-diam. Aku terus mengikutinya kemanapun dia pergi. Kakak
juga sepertinya tak tau kalau aku mengikutinya. Sampai akhirnya kakak menuju
suatu tempat, akupun tak tau nama tempat itu. Jaraknya lebih dari 10km dari
rumahku. Kakak seperti menunggu seseorang. Selang beberapa menit, orang yang
kakak tunggu datang. Diakah orang yang kakak maksud?. Diakah orang yang akan
menggantikan posisiku dihati kakak?.
Kakak terlihat
mengobrol hangat dengan orang itu. Aku melihat dari persembunyian yang jauh
dari tempat mereka berada. Jarak yang jauh untuk mereka melihatku. Semakin
lama, rasa cemburu ini semakin membuncah. Aku ingin keluar dari
persembunyianku, tapi niat itu ku urungkan. Dari kejauhan ku lihat mereka
tertawa bahagia. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.
Sudah lebih dari
setengah jam aku memperhatikan mereka. Aku ingin keluar dari persembunyianku
dan menghampiri mereka. Akhirnya ku putuskan untuk keluar dan berjalan
mendekati mereka. Kakak terlihat kaget melihatku.
“De, kamu ngapain
disini?”, sontak kakak terlihat kaget dengan kehadiranku.
“Kamu buntutin kakak?”,
lanjutnya.
“Iya, aku buntutin
kakak daritadi pagi. Jadi ini orang yang kakak maksud?. Cowok ini yang membuat
kakak menjauh dariku?”, emosi yang tertahan sekian lama akhirnya ku lampiaskan
hari ini.
“Maksudmu apa buntutin
kakak?! Kakak ga suka caramu kayak gitu”, nadanya mulai meninggi.
“Aku cuma pingin tau,
sehebat apa orang yang kakak maksud. Benar cowok ini yang kakak maksud?”, nada
bicaraku juga ikut meninggi.
“Iya, ini Aldy. Dia
orang yang ku maksud”, jawaban itu justru membuat hatiku semakin hancur.
“Dara sadarlah… Kak
Dian cuma anggap kamu adek. Ga lebih… Aku bahagia bersama Aldy. Kita ga mungkin
bersatu. Tolong pikir dengan logika”, lanjutnya. Jawaban yang membuatku semakin
terpojok.
“Iya Dara, Dian udah
cerita semua. Kalian tuh sama-sama cewek. Selama ini Dian berusaha merubahmu,
tapi dia merasa gagal. Semakin hari kamu semakin, ya beginilah. Dian tak ingin
kamu selamanya begini. Cobalah berubah… Di luar sana masih banyak cowok yang baik, yang bisa
ngerti kamu. Jangan anggap semua cowok sama seperti mantanmu. Bukalah hati
kamu. Bukan gini caranya”, timpal Aldy. Dia ikut menasehatiku.
“Oke, jadi kalian
anggap aku ga normal?!”, emosiku semakin meledak-ledak.
“Bukan gitu, kamu
harusnya ngerti. Kamu harus berubah, jangan selalu menutup hatimu. Benar yang
Aldy bilang tadi, masih banyak cowok yang baik di luar sana . Jangan bertindak aneh-aneh. Apalagi
sampai kamu suka sama kakak. Itu ga mungkin”, kakak ikut menimpali. Aku
benar-benar terpojok.
“Kalian ga pernah
ngerti posisiku. Kalian ga pernah ngerasain jadi aku. Gimana rasanya ga
diterima dimanapun. Gimana rasanya dikhianatin. Kalian itu beruntung”, air
mataku mulai menetes. Pikiranku kacau.
“Kita ngerti, kita tau
gimana rasanya dikhianatin. Kita semua juga pasti pernah dikhianatin”, giliran
Aldy yang menjawab perkataanku tadi.
“Tapi kalian diterima
dimanapun. Sedangkan aku? Kehadiranku seperti tak dibutuhkan. Mereka cuma
anggap aku angin lalu. Sakit rasanya…”, aku semakin terisak.
“Kamu cuma butuh waktu
buat menyesuaikan diri dengan mereka. Mereka akan menerima kamu kalau kamu mau
berbaur dengan mereka. Setiap orang pasti menerima kamu kok de”, kata Kak Dian
melengkapi jawaban Aldy.
“Terserah kalian…
Kalian bisa ngomong gitu karena kalian ga ngerasain apa yang aku rasain”, aku
tetap pada pendirianku.
“Ya udah. Intinya, kita
itu sesama perempuan Dara… Harusnya kamu ngerti itu. Berhentilah seperti ini.
Sudah cukup kakak mengikuti alur hidupmu. Kakak tetap tak bisa menjadi
sepertimu”, jelas kakak padaku.
Aku terdiam dan semakin
terisak. Cowok bernama Aldy itu terlihat sempurna dan sangat cocok dengan Kak
Dian. Aku tak berhak merusak kebahagiaan mereka. Kak Dian berhak bahagia
bersama Aldy, bukan denganku. Aku akan mencoba berubah seperti yang Kak Dian
dan Aldy katakan tadi. Mungkin memang tak seharusnya aku seperti ini. Semoga di
luar sana masih
ada cowok yang menerima aku apa adanya.
Dengan langkah gontai
aku melangkah pulang. Menjauh dari kebahagiaan mereka. Biarlah mereka bahagia.
Karena selamanya aku akan tetap menjadi adiknya. Karena aku hanya seorang
perempuan frustasi yang tak bisa lagi percaya dan mencintai laki-laki.
THE
END
*Mungkin beginilah
gambaran seorang perempuan yang frustasi karena makhluk yang bernama lelaki.
Bagaimana rasanya diberi asa lalu dihempaskan begitu saja. Pasti sakit rasanya.
Dan seorang perempuan bisa melampiaskan kekecewaannya itu pada hal yang bisa
dibilang salah.*
Purwokerto, 29 Oktober 2011